Penulis: Muhammad Riadi/Juru Bicara INIMI
MAKASSAR, iNewsCelebes.id - Pernahkah Anda membayangkan sebuah kota tanpa sampah? Sebuah utopia di mana lingkungan bersih dan sehat menjadi kenyataan.
Namun, di balik mimpi indah itu, tersimpan realita yang tak kalah menarik untuk dibahas.
Belakangan ini, kita disuguhkan oleh perdebatan sengit mengenai kebijakan gratis iuran sampah yang digaungkan oleh beberapa pihak.
Kebijakan ini, seolah-olah menjadi solusi instan untuk masalah sampah, ternyata menyimpan sejumlah persoalan yang perlu kita cermati.
Perpres Nomor 35 Tahun 2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolahan Sampah Menjadi Energi Listrik (PLTSa) pun menjadi salah satu sorotan.
Dalam peraturan tersebut, jelas tertuang bahwa biaya pengolahan sampah sebagian besar ditanggung oleh pemerintah pusat dan daerah.
Namun, muncul pertanyaan: mengapa masih ada pihak yang ngotot menentang kebijakan ini dengan menggratiskan iuran sampah?
Pertanyaan tersebut semakin menarik ketika kita melihat aturan yang lebih rinci mengenai retribusi sampah dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri.
Dalam peraturan tersebut, dengan tegas dinyatakan bahwa masyarakat wajib membayar retribusi sampah.
Lantas, mengapa ada upaya untuk menggratiskan retribusi sampah, padahal secara aturan sudah jelas bahwa itu merupakan kewajiban setiap warga?
Di balik tuntutan gratis iuran sampah, tersimpan kepentingan yang beragam. Saya melihatnya sebagai program popular yang tak berdampak. Kalau toh berdampak, maka dampaknya adalah munculnya masalah baru dikemudian hari. Program yang berpotensi membawa Kota Makassar maju jauh ke belakang. Jauh tertinggal. Barangkali program tersebut disokong oleh kepentingan pihak-pihak yang tidak ingin melihat Makassar maju.
Mari kita belajar dari Taiwan yang dahulu di tahun 1992 berpredikat sebagai “Pulau Sampah”. Taiwan kita jadikan contoh pengelolaan sampah dengan tindakan yang mereka lakukan. Salah satu diantaranya adalah memungut iuran berdasarkan jumlah sampah harian. Semakin tinggi volume sampah yang dihasilkan, maka semakin tinggi iuran yang warga bayar.
Dengan menetapkan iuran berdasarkan volume sampah harian, maka ini juga berdampak dengan semakin menurunnya jumlah produksi sampah. Hal lainnya tentu saja kantong-kantong sampah akan berkurang karena seiring waktu yang tumbuh adalah budaya daur ulang. Warga akan menyadari, dengan budaya konsumsi yang tinggi hari ini, mustahil menggantungkan sepenuhnya pengelolaan sampah kepada pemerintah. Selain itu, pada akhirnya potensi penyakit yang selama ini bersumber dari menumpuknya produksi sampah akan hilang. Ekosistem inilah yang diharapkan akan hadir di Kota Makassar.
Namun bagaimanapun, kebijakan iuran sampah mungkin terdengar menarik, bombastis,memukau, sekilas sangat menggiurkan, namun kita perlu mempertimbangkan dampak jangka panjangnya terhadap lingkungan, kesehatan, budaya konsumtif, hingga harapan kita melihat Makassar menjadi Kota Dunia.
Jangan sampai kita terjebak dalam janji-janji manis yang pada akhirnya justru merugikan kita semua.
Editor : Arham Hamid