MAKASSAR, iNewsCelebes.id - Oligarki atau dominasi kekuasaan politik dan ekonomi oleh sejumlah kecil orang atau kelompok merupakan ancaman serius bagi demokrasi yang sehat dan berfungsi dengan baik.
Fenomena ini tidak hanya membatasi partisipasi politik dari warga biasa, tetapi juga dapat mengarah pada distorsi dalam proses politik, ekonomi, dan sosial.
Sejak era reformasi, terlebih lagi jika pesta demokrasi digelar, baik itu Pilpres, Pileg dan Pilkada, praktek Oligarki dinilai dapat merusak tatanan moral masyarakat dalam menggunakan hak pilihnya.
Praktek money politik dan borong atau bahkan begal partai diduga tidak lepas dari peran serta elit oligarki dalam mempertahankan dominasi politik dan ekonomi. Tentu saja hal ini menjadi ancaman serius bagi nilai-nilai dan tegaknya demokrasi di tanah air.
Berikut adalah beberapa alasan mengapa oligarki dianggap sebagai ancaman bagi demokrasi:
1. Konsentrasi Kekuasaan
Oligarki menciptakan konsentrasi besar-besaran dari kekayaan dan kekuasaan dalam tangan sedikit orang atau kelompok. Hal ini bisa mengakibatkan pengaruh politik yang tidak seimbang, di mana kepentingan kelompok kecil dapat mendominasi kebijakan publik yang seharusnya melayani kepentingan masyarakat luas.
2. Pengaruh Ekonomi Terhadap Politik
Oligarki sering kali menciptakan hubungan simbiosis antara kekayaan ekonomi dan kekuasaan politik. Hal ini dapat mengakibatkan adanya korupsi, nepotisme, dan praktik-praktik lain yang merugikan keadilan dan akuntabilitas dalam sistem politik.
3. Pembatasan Partisipasi Politik
Dalam oligarki, partisipasi politik masyarakat umum sering kali dibatasi atau dihambat. Hal ini bisa terjadi melalui kontrol terhadap media massa, manipulasi pemilihan, atau penindasan terhadap oposisi politik, yang semuanya mengancam prinsip-prinsip dasar demokrasi seperti kebebasan berpendapat dan hak untuk memilih.
4. Ketidaksetaraan Sosial Ekonomi
Oligarki cenderung memperburuk ketimpangan sosial ekonomi, dengan menahan kekayaan dan peluang pada segelintir individu atau kelompok. Ketidaksetaraan ini tidak hanya berdampak negatif pada stabilitas sosial, tetapi juga menghambat kemajuan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.
5. Ketidakstabilan Politik dan Sosial
Oligarki dapat menciptakan ketidakstabilan politik dan sosial dengan memperkuat polarisasi dan konflik di masyarakat. Ini terjadi ketika kepentingan kelompok elit bertentangan dengan kepentingan umum, mengarah pada ketegangan politik yang meningkat dan bahkan potensi untuk konflik sosial.
6. Konsentrasi Kekuasaan
Oligarki menciptakan konsentrasi besar-besaran dari kekayaan dan kekuasaan dalam tangan sedikit orang atau kelompok. Hal ini bisa mengakibatkan pengaruh politik yang tidak seimbang, di mana kepentingan kelompok kecil dapat mendominasi kebijakan publik yang seharusnya melayani kepentingan masyarakat luas.
7. Pengaruh Ekonomi Terhadap Politik
Oligarki sering kali menciptakan hubungan simbiosis antara kekayaan ekonomi dan kekuasaan politik. Hal ini dapat mengakibatkan adanya korupsi, nepotisme, dan praktik-praktik lain yang merugikan keadilan dan akuntabilitas dalam sistem politik.
8. Pembatasan Partisipasi Politik
Dalam oligarki, partisipasi politik masyarakat umum sering kali dibatasi atau dihambat. Hal ini bisa terjadi melalui kontrol terhadap media massa, manipulasi pemilihan, atau penindasan terhadap oposisi politik, yang semuanya mengancam prinsip-prinsip dasar demokrasi seperti kebebasan berpendapat dan hak untuk memilih.
9. Ketidaksetaraan Sosial Ekonomi
Oligarki cenderung memperburuk ketimpangan sosial ekonomi, dengan menahan kekayaan dan peluang pada segelintir individu atau kelompok. Ketidaksetaraan ini tidak hanya berdampak negatif pada stabilitas sosial, tetapi juga menghambat kemajuan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.
10. Ketidakstabilan Politik dan Sosial
Oligarki dapat menciptakan ketidakstabilan politik dan sosial dengan memperkuat polarisasi dan konflik di masyarakat. Ini terjadi ketika kepentingan kelompok elit bertentangan dengan kepentingan umum, mengarah pada ketegangan politik yang meningkat dan bahkan potensi untuk konflik sosial.
Seperti halnya di Pilgub Sulsel, dugaan keterlibatan elit oligarki semakin tajam tercium saat wacana kotak kosong mengemuka. Banyak pihak berharap isu kotak kosong tidak benar-benar terjadi hanya karena akses figur lainnya tertutup, alias tidak mendapatkan usungan partai sebagai salah satu syarat utama sebagai calon gubernur dan wakil gubernur.
Menurut Pengamat Politik dari Unhas, Dr. Hasrullah, saat ini menjelang pesta demokrasi, money politik alias praktek suap untuk memperoleh dukungan wajib pilih secara individu bukan lagi hal yang langka, namun sebaliknya menjadi hal yang biasa.
“Berbeda halnya jika kotak kosong karena tidak adanya penantang. Sebab figur yang muncul benar-benar dicintai semua lapisan masyarakat atas kinerja dan baktinya terhadap tanah air. Sehingga figur lainnya legowo dan tidak mau maju. Bukan dengan cara borong partai karena adanya kuasa dan uang, aromanya seperti kentut, tercium namun tidak terlihat," ungkap Dr. Hasrullah
"Penggeraknya menggunakan tangan orang lain dengan support dana yang melimpah. Pilihan di bilik suara terkadang ditentukan seberapa banyak nominal yang diperoleh si wajib pilih. Nilai-nilai demokrasi hilang. Kampanye anti money politik sudah mulai hilang," lanjutnya berapi-api.
Dr. Hasrullah menambahkan, begitu juga dengan upaya dalam memperoleh usungan parpol, terkadang cost atau mahar politiknya besar. Bahkan nilainya fantastis, diluar nalar berpikir. Pengamat politik dari Universitas Hasanuddin ini mengatakan, baik money politik maupun mahar politik hanya bisa dilakukan oleh individu maupun sekelompok kecil orang yang memiliki kekuasaan dan uang yang berlimpah.
“Sangat disayangkan jika hal ini benar-benar terjadi. Harapan terciptanya tatanan demokrasi sebagai pondasi awal terbentuknya pemerintahan yang ideal sangat sulit terwujud. Kedaulatan bukan lagi ditangan rakyat tapi uang penentunya," ucapnya.
Akademisi Unhas ini berharap, keterlibatan elit Oligarki di Pilgub Sulsel dapat dicegah dengan adanya kesadaran masyarakat untuk tidak menyandarkan pilihannya hanya semata-mata karena uang.
“Begitu juga dengan parpol. Sebagai salah satu pilar demokrasi, kiranya dapat memilih atau mengusung figur yang benar-benar pro rakyat. Figur yang rekam jejaknya baik, berpengalaman dan mengerti pemerintahan, khususnya tata kelola uang negara. Sehingga praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme tidak terjadi,” harapnya.
Editor : Arham Hamid
Artikel Terkait