MAKASSAR, iNewsCelebes.id - Konsultasi Rakyat yang digelar oleh Aliansi Rakyat untuk RUU Keadilan Iklim (ARUKI) di Sulawesi Selatan telah menghasilkan rekomendasi kuat untuk pembentukan Rancangan Undang-Undang (RUU) Keadilan Iklim. Acara ini merupakan kolaborasi dari sejumlah organisasi seperti Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Wilayah Sulsel, WALHI Sulsel, Serikat Perempuan Anging Mammiri (SP-AM), Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Makassar, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), WALHI Nasional, dan Yayasan Pikul.
Konsultasi Rakyat di Sulawesi Selatan bertujuan untuk membuka ruang bagi masyarakat yang terkena dampak krisis iklim, memberikan kesempatan bagi mereka untuk berbagi pengalaman, usulan, dan aspirasi terkait dampak iklim yang semakin meluas. Perwakilan LBH Makassar, Salman, menyampaikan bahwa krisis iklim telah mempengaruhi berbagai aspek kehidupan masyarakat, termasuk lapangan pekerjaan, kerusakan lingkungan, krisis air, dan terbatasnya akses mitigasi bagi kelompok rentan, seperti difabel, nelayan, petani, buruh, dan perempuan.
Dampak Krisis Iklim pada Perempuan dan Difabel
Perubahan iklim di Sulawesi Selatan, seperti kekeringan, banjir, banjir rob, dan tanah longsor, telah merusak sumber mata pencaharian dan memperparah kesulitan ekonomi bagi perempuan dan difabel. Hajira, perwakilan Perempuan Pesisir Tallo Makassar, menjelaskan bahwa perempuan pesisir mengalami kesulitan dalam mengakses air bersih selama musim kemarau. Warga harus mengantri hingga larut malam untuk mendapatkan air dari mobil PDAM dan dikenakan biaya Rp3.000 per jerigen, menambah beban ekonomi bagi keluarga.
Selain itu, proyek reklamasi Makassar New Port (MNP) telah merusak lingkungan pesisir, mengurangi wilayah tangkap bagi nelayan, dan mengancam ekosistem laut, yang secara langsung mempengaruhi pendapatan mereka. Akibatnya, banyak perempuan terpaksa mencari pekerjaan tambahan untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarga mereka.
Daeng Malik, perwakilan Pergerakan Difabel Indonesia untuk Kesetaraan (PerDIK) Sulsel, menyoroti minimnya akses inklusif dalam mitigasi bencana, yang memperparah ketidaksetaraan yang dialami oleh penyandang disabilitas. Kurangnya infrastruktur darurat yang mendukung kebutuhan difabel membuat mereka semakin rentan saat bencana terjadi. Selain itu, difabel mental dan intelektual mengalami gangguan mental akibat ketidakpastian bencana, sementara biaya obat-obatan yang tinggi kerap menjadi kendala.
Dampak Krisis Iklim pada Reforma Agraria dan Konflik Agraria
Perwakilan WALHI Sulsel, Arfiandi Anas, menjelaskan bahwa krisis iklim di Sulawesi Selatan tidak dapat dilepaskan dari krisis ekologis yang dipicu oleh pembangunan yang sering kali mengabaikan prinsip keberlanjutan. Salah satu usulan penting adalah revisi Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Sulsel untuk menghapus zona tambang pasir dan reklamasi pesisir, yang dianggap dapat mengurangi ancaman dari krisis iklim.
Selain itu, reforma agraria pun ikut terdampak, di mana konflik agraria akibat perkebunan monokultur, tambang, dan pembangunan infrastruktur terus berlanjut, mengakibatkan penggusuran lahan dan hilangnya hak-hak masyarakat adat, petani, dan kelompok rentan lainnya. Koordinator KPA Sulsel, Rizki Anggriana Arimbi, menegaskan bahwa krisis iklim memperparah kondisi masyarakat dalam memperjuangkan hak atas tanah dan sumber daya alam. Data BPS 2023 menunjukkan peningkatan jumlah petani gurem di Sulawesi Selatan, yang mempersempit akses masyarakat terhadap tanah garapan.
Peran Media dalam Krisis Iklim
Perwakilan AJI Makassar, Agus Mawan, menegaskan pentingnya peran media dalam memberikan informasi yang objektif terkait krisis iklim. Media diharapkan dapat memperjuangkan transparansi, mengawasi kebijakan pemerintah, dan menyuarakan kebutuhan serta pengalaman masyarakat yang terdampak.
Harapan dari Konsultasi Rakyat untuk RUU Keadilan Iklim
Hasil Konsultasi Rakyat ini menjadi landasan penting bagi ARUKI untuk terus mendorong pemerintah Indonesia agar segera memiliki RUU Keadilan Iklim yang berfokus pada perlindungan lingkungan hidup dan hak asasi manusia. RUU ini diharapkan dapat memberikan perlindungan komprehensif bagi sektor-sektor yang terdampak krisis iklim, terutama kelompok rentan yang rentan terhadap bencana alam dan krisis ekologis.
Eksekutif Nasional WALHI, Satrio Kusuma Mandala, menekankan bahwa diperlukan kesadaran kolektif dari masyarakat sipil untuk mendorong inisiatif ini. Menurutnya, advokasi di Makassar merupakan kunjungan ke-13 dalam rangka mendengar dampak perubahan iklim di berbagai wilayah Indonesia. "Kami bertemu masyarakat di setiap provinsi, termasuk Makassar, untuk mendengar cerita mereka tentang bertahan di tengah krisis iklim,” ungkap Satrio.
Dengan berbagai masukan dari masyarakat, ARUKI akan mengusulkan sejumlah cerita dan fakta bencana yang akan menjadi bagian dari RUU Keadilan Iklim. "Kami ingin RUU ini menyuarakan kebutuhan masyarakat dan memastikan negara bertanggung jawab atas keselamatan rakyat," tutupnya.
Editor : Arham Hamid
Artikel Terkait