BANDUNG, iNewsCelebes. id - Baru-baru ini, netizen +62 diramaikan dengan salah satu isu pendidikan tentang wacana kenaikan UKT (Uang Kuliah Tunggal) yang menuai banyak kritik.
Sebagai responsnya, beredar berita tentang Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kemendikbudristek, Tjitjik Sri Tjahjandarie, yang menyebut biaya kuliah harus dipenuhi oleh mahasiswa agar penyelenggaraan pendidikan itu memenuhi standar mutu.
Tjitjik juga menyebutkan bahwa pendidikan tinggi merupakan tertiary education atau pilihan yang tidak masuk dalam wajib belajar 12 tahun.
Sehingga pendanaan pemerintah difokuskan dan diprioritaskan untuk pembiayaan wajib belajar. Namun, apakah langkah menaikkan UKT ini adalah solusi yang efektif dan strategis?
Bagaimana dampaknya terhadap wajah pendidikan nasional Indonesia? Berikut akan dikaji beberapa persfektif terhadap tujuan pendidikan nasional dalam kaitannya dengan kebijakan tersebut.
Secara normatif, tujuan pendidikan di Indonesia tertuang dalam UUD 1945. Di dalam pembukaannya terdapat pernyataan “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Cita-cita ini kemudian dipertegas lagi pada pasal 31 yang menyatakan setiap warga negara berhak mendapat layanan pendidikan dan negara wajib membiayainya dalam bentuk alokasi APBN.
Secara lebih konkret, tujuan ini tercantum dalam UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 3, “Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”
Dari pasal ini, kita dapat melihat betapa indah dan mulianya tujuan pendidikan di tanah air tercinta. Selanjutnya, akan kita kaji bagaimana religi, etika, dan sosio-ekonomi memandang tujuan ini.
Pertama, dari persfektif religi, konteks pendidikan Indonesia menempatkan agama sebagai elemen yang sangat penting. Bukan “berilmu” atau “berkemampuan finansial”, melainkan “beriman dan bertakwa kepada Tuhan”-lah yang disebutkan pertama kali pada tujuan pendidikan dalam pasal 3 UU No.20 Tahun 2003.
Hal ini sesuai dengan dasar negara Pancasila yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa. Pada dasarnya, semua agama yang diakui di Indonesia memiliki nilai yang hampir satu suara dalam hal mencerdaskan kehidupan bangsa, melepaskan manusia dari belenggu penderitaan karena kebodohan. Artinya, tingginya pendidikan seharusnya mengantarkan manusia pada semakin beriman dan bertakwanya kepada Tuhan. Dalam Islam misalnya, tujuan pendidikan adalah mempersiapkan diri untuk kehidupan dunia dan akhirat. Dan untuk memperoleh kesuksesan dunia dan akhirat haruslah dilandasi dengan iman dan taqwa.
Persfektif kedua, yang masih berkaitan dengan religi, yaitu etika. Pada sudut pandang ini, pelaksanaan aktivitas pendidikan tidak hanya dimaknai sebagai proses transformasi ilmu atau materi. Lebih dalam dari itu ia dalah proses transformasi nilai.
Proses ini sangat berkaitan dengan tujuan pendidikan nasional yang sudah disebutkan sebelumnya, setelah beriman dan bertakwa, kata berikutnya adalah berakhlak mulia. Tujuan ini terkait dengan sistem nilai dan norma-norma dalam suatu konteks kultural.
Akhlak mulia seringkali saling menggantikan dengan kata karakter (positif) atau moral. Dan pendidikan pada hakikatnya adalah proses mengukir atau memahat jiwa sedemikian rupa sehingga tercipta karya seni yang unik dan tentu saja indah. Inilah target arah pengembangan sistem pendidikan: mewujudkan kondisi mental moral dan spiritual religius.
Ketiga, persfektif sosio-ekonomi. Menurut perspektif ini, pendidikan dapat dipandang sebagai human investment yang akan menghasilkan SDM andal dan berkualitas untuk menjadi penggerak ekonomi nasional.
Dua persfektif sebelumnya cenderung berkaitan kepada tujuan pendidikan secara idealis, sedangkan persfektif ini lebih dekat pada tujuan pendidikan secara pragmatis, di antaranya orientasi pada outcome lulusan-lulusan bermutu yang memiliki pengetahuan dan keterampilan teknis memadai yang siap bersaing di dunia internasional.
Pendidikan juga harus menjadi pabrik penghasil tenaga-tenaga profesional yang memiliki kemampuan kewirausahaan, yang menjadi salah satu pilar utama aktivitas perekonomian nasional. Bahkan peran pendidikan menjadi sangat penting dan menjadi jalan strategis untuk meningkatkan daya saing nasional menuju Indonesia Emas 2045.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan nasional, ditinjau dari berbagai persfektif, bermuara pada terbentuknya SDM yang berkualitas, baik secara spiritual, moral, kelimuan, maupun daya saing global. Lantas, apakah untuk mewujudkannya cukup melalui pendidikan primer dan sekunder (wajib belajar 12 tahun)? Pendidikan tinggi memang bukan jaminan seseorang akan menjadi SDM unggul, tapi ketajaman pikiran, keluasan wawasan, problem solving, komunikasi efektif, betul-betul diasah di tahap pendidikan ini. Karenanya, pribadi unggul berdaya saing global hanya dapat dilahirkan melalui pendidikan tinggi. Jelas, sangatlah berkorelasi erat antara pendidikan tinggi dengan ketercapaian tujuan pendidikan nasional secara komprehensif.
Kembali pada permasalahan yang diungkapkan di awal tulisan ini tentang tanggapan naik (dan juga mahal)-nya UKT bahwa kuliah adalah pendidikan tersier dan sifatnya pilihan, penulis memandang bahwa pernyataan ini berpotensi menggiring opini bahwa kuliah tidak terlalu penting dan bisa berakibat demotivasi bagi masyarakat Indonesia, khususnya bagi yang memiliki keterbatasan akses untuk mengenyam pendidikan tinggi karena berbagai faktor seperti kondisi ekonomi. Akibatnya, besar kemungkinan bila kebijakan ini diterapkan, akan terjadi penurunan angka partisipasi pendidikan tinggi di Indonesia. Padahal, faktanya, berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri tahun 2022, jumlah penduduk Indonesia yang mengenyam bangku kuliah hanya sekitar 6 persen (liputan6.com). Angka ini sangat jauh bila dibandingkan dengan negara-negara dengan lulusan kuliah tertinggi, seperti Kanada yang mencapai 60 persen atau Jepang yang mencapai 50 persen (data OECD 2023 dilansir data.goodstats.id). Jadi, kembali lagi, apakah kebijakan ini sudah tepat dan sejalan dengan tujuan pendidikan nasional?
Editor : Thamrin Hamid