Mereka melakukan upacara di Ksetra atau lapangan untuk membakar mayat atau kuburan sebelum mayat di bakar saat gelap bulan.
Pada zaman dahulu penjagaan keamanan dan pengendalian pemerintahan di wilayah kekuasaan berdasarkan pada kharisma dan kekuasaan raja. Kertanegara menganut Bhairawa Kalacakra untuk mengimbangi kekuatan Kaisar Khu Bhi Lai Khan di Cina yang menganut Bhairawa Heruka.
Kebo Paru, Patih Singasari menganut Bhairawa Bhima untuk mengimbangi Raja Bali yang kharismanya sangat tinggi pada zaman itu.
Adityawarman menganut Bhairawa Kalacakra untuk mengimbangi raja-raja Pagaruyung di Sumatera barat yang menganut Bhairawa Heruka. Aliran-aliran Bhairawa cenderung bersifat politik, untuk mendapatkan kharisma besar yang diperlukan dalam pengendalian pemerintahan dan menjaga keamanan wilayah kekuasaan (kerajaan).
Raja Singhasari, Kertanegara adalah seorang penganut setia aliran Budha Tantra. Prasasti tahun 1289 pada lapik arca Joko Dolok di surabaya menyatakan bahwa Krtanegara telah dinobatkan sebagai Jina (Dhyani Buddha) yaitu sebagai Aksobya, dan Joko Dolok itu adalah arca perwujudannya. Sebagai Jina, Kertanegara bergelar Jnanaciwabajra.
Setelah wafat ia dinamakan Çiwabuddha yaitu dalam kitab Pararaton dan dalam Nagarakartagama, Mokteng (yang wafat di) Çiwabuddhaloka sedangkan dalam prasasti lain, Lina ring (yang wafat di) Çiwabuddhalaya.
Kertanegara dimuliakan di Candi Jawi sebagai Bhatara Çiwabuddha/ SiwaBuddha di Sagala bersama dengan permaisurinya Bajradewi, sebagai Jina (Wairocana) dengan Locana dan di Candi Singosari sebagai Bhaiwara.
"Istilah Tantrayana ini berasal dari akar kata 'Tan' yang artinya memaparkan kesaktian atau kekuatan daripada Dewa itu. Di India penganut Tantrisme banyak terdapat di India Selatan dibandingkan dengan India Utara," ujarnya.
Editor : Sazili MustofaEditor Jakarta
Artikel Terkait