Selain itu, niat utama dari DPD RI adalah menciptakan keseimbangan, sehingga diperlukan perwakilan secara kuantitatif yang seimbang dengan perwakilan kualitatif.
"Saya pribadi setuju dengan pengembalian Utusan Golongan. Persoalan pertama adalah perlunya payung hukum. Hal itu perlu dipertimbangkan dengan baik, karena setelah dihapus, kemudian diadakan kembali," ujarnya.
Setelah ada legitimasi atau payung hukumnya, kata Rahmat, persoalannya adalah mengenai variabel pengisian Utusan Golongan tersebut.
Rahmat menyarankan agar tidak terlalu terpengaruh oleh teori barat atau mengadopsi dari negara lain. Menurutnya, Indonesia memiliki banyak contoh kearifan lokal yang dapat digunakan sebagai variabel pengisian Utusan Golongan di MPR.
"Kita memiliki banyak kearifan lokal yang dapat dijadikan dasar untuk pengisian Utusan Golongan di MPR. Jangan terlalu terfokus pada pandangan luar negeri. Kita bisa mengambil contoh dari budaya dan adat istiadat suku-suku yang ada di Indonesia," ujarnya.
Di sisi lain, Prof. Dr. Aminudin Ilmar, Dosen Hukum Unhas, justru berpendapat bahwa lebih baik jika Utusan Golongan dimasukkan ke dalam kamar DPD, sekaligus memperkuat peran DPD.
"Caranya adalah dengan memasukkan Utusan Golongan ke dalam DPD RI. Hal ini akan menciptakan kesetaraan dengan DPR, sehingga DPD tidak hanya terdiri dari 4 orang, tetapi juga ditambah dengan Utusan Golongan tersebut. Dengan demikian, apa yang diputuskan oleh DPR dapat dikoreksi oleh DPD RI," ujarnya.
Prof. Dr. Phil. Sukri Tamma, M.Si. (Dekan Fisip Unhas) menyatakan bahwa mereka sedang mencoba mencari tahu dasar pengisian Utusan Golongan tersebut. Menurutnya, organisasi atau golongan di Indonesia sangat banyak. Artinya, semua golongan mungkin ingin menjadi utusan.
"Jika berbicara dalam jangka pendek, pengisian Utusan Golongan dapat menggunakan indikator umum. Ada lembaga keagamaan, golongan profesi, dan sebagainya. Tinggal diatur agar adil. Apakah diwakili oleh satu orang atau lebih, ini juga merupakan masalah yang perlu dicari dasarnya," tambahnya.
Dr. Fitra Arsil, SH., MH, Dosen Fakultas Hukum UI, menyampaikan bahwa secara teknis, pengisian Utusan Golongan merupakan hal yang rumit.
Hal ini karena harus mengakomodasi banyak kelompok yang ada di Indonesia. Namun menurutnya, pengisian Utusan Golongan di MPR bisa dilakukan seperti di negara lain.
"Masalahnya adalah siapa yang dapat menjadi Utusan Golongan. Kita bisa mencontoh negara lain. Ada yang diangkat langsung oleh kepala negara, dipilih oleh komunitasnya, atau otomatis karena jabatannya. Misalnya mantan presiden bisa menjadi Utusan atau tokoh-tokoh yang berjasa," katanya.
Editor : Sazili MustofaEditor Jakarta