MAKASSAR, iNewsCelebes.id - Bencana alam yang terjadi secara terus menerus di wilayah Luwu Raya menjadi perhatian serius bagi Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia (IAP) Wilayah Sulawesi Selatan.
Khususnya terkait kegiatan yang menimbulkan dampak bencana banjir dan longsor tersebut seperti alih fungsi lahan, penebangan hutan, pembangunan pada daerah resapan air dan kerusakan sungai akibat aktivitas kegiatan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang wilayah (RTRW) masing masing Kabupaten dan Kota yang telah diatur melalui peraturan daerahnya.
Akhir Maret lalu, banjir bandang menerjang Kota Palopo yang diakibatkan air bah meluap dari sungai Latuppa hingga masuk permukiman warga yang membuat harta benda ikut terendam dan tidak dapat diselamatkan.
Selain merendam pemukiman warga, banjir juga membawa serta material lumpur dan kayu hingga mengakibatkan sejumlah akses jalan di jantung Kota Palopo lumpuh. Setidaknya ada tiga kecamatan yang terdampak banjir, yakni Kecamatan Wara, Kecamatan Wara Timur, dan Kecamatan Mungkajang.
Kemudian awal April, Kabupaten Luwu Utara dan Luwu juga diterjang banjir bandang yang mengakibatkan kerugian materil dan menganggu aktifitas masyarakat di tengah l menyambut hari raya idul fitri 1445 Hijriah.
Dengan kondisi ini, masyarakat akan mengalami ancaman berbagai dampak bencana alam yang kapan saja terjadi, khususnya ketika intensitas hujan tinggi akan berdampak pada terjadinya kejadian bencana banjir, banjir bandang dan longsor.
Ketua IAP Sulsel, Firdaus mengharapkan para kepala daerah di wilayah Luwu Raya konsisten dan berkomitmen menerapkan setiap perizinan dan pembangunan yang dilakukan harus berlandaskan pada rencana tata ruang dan berbasis pada mitigasi serta adaptasi bencana yang telah disusun dan di tetapkan menjadi peraturan daerah.
"IAP Sulsel mengingatkan Perda tata ruang harus menjadi panglima dalam mengawal setiap izin berusaha maupun non berusaha baik program pemerintah, masyarakat maupun swasta harus mengacu pada rencana tata ruang wilayah (RTRW)," kata Firdaus melalui keterangan tertulisnya, Kamis, (18/4/2024).
Sebagaimana diketahui, saat ini Kota Palopo memiliki Perda RTRW Nomor 1 Tahun 2022, Kabupaten Luwu Utara memiliki perda RTRW Nomor 1 Tahun 2023, Kabupaten Luwu memiliki perda RTRW Nomor 6 Tahun 2011 dan Kabupaten Luwu Timur memiliki perda RTRW Nomor 7 Tahun 2011.
Sehingga persoalan banjir ini tidak bisa diselesaikan secara parsial karena sifatnya lintas wilayah, lintas sektoral dan lintas pemangku kepentingan.
"Wilayah Luwu Raya ini terdapat 3 wilayah sungai yaitu Wilayah Sungai (WS) Pompengan-Larona, Wilayah Sungai (WS) Saddang dan Wilayah Sungai (WS) Walanae-Cenranae dan terdapat banyak daerah aliran sungai (DAS) yang saling bersinggungan antar wilayah," ujarnya.
Seperti DAS Salu Battang, DAS Latuppa dan DAS Sungai Paremang yang masuk di wilayah Kota Palopo dan Kabupaten Luwu. Selain itu DAS Salu Rongkong dan DAS Salu Lamasi yang masuk di wilayah Kabupaten Luwu Utara dan Kabupaten Luwu serta DAS Salu Kalaena dan DAS Uraso yang masuk di wilayah Kabupaten Luwu Utara dan Kabupaten Luwu Timur.
"Sehingga IAP Sulsel mendorong agar adanya kebijakan manajemen risiko bencana kerjasama antar daerah di Luwu Raya sebagai konsep pengembangan wilayah yang berbasis pada mitigasi dan adaptasi bencana alam yang terkoordinasi dan terkelola dengan baik antar wilayah. Konsep ini bisa diajukan oleh para kepala daerah di Luwu Raya kepada pemerintah pusat yang di fasilitasi oleh pemerintah provinsi dalam rangka menyelesaikan persoalan bencana alam yang setiap saat terjadi di wilayah Luwu Raya dengan pendekatan yang holistik dan komprehensif," sarannya.
Adapun alasan IAP Sulsel mendorong agar dilakukannya kebijakan peraturan mengenai manajemen risiko bencana kerjasama antar daerah di Luwu Raya, yakni, pertama adanya over-lapping bantuan. Kecenderungan yang terjadi saat ini antar lembaga pemerintah seringkali memberi jenis bantuan yang sama, sementara jenis bantuan lain yang lebih dibutuhkan justru kerap terabaikan.
Kedua, lemahnya koordinasi antara BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) dengan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi dan Kabupaten/Kota.
Ketiga, kurangnya kerjasama atau koordinasi antar kepala daerah dalam pengelolaan bencana. Padahal bencana alam bisa saja terjadi di lokasi yang merupakan perbatasan dari beberapa wilayah administratif.
Keempat, kurangnya alokasi dana untuk pencegahan dan penanggulangan bencana di tiap daerah sehingga dengan pola kerjasama antar daerah akan sedikit mengurangi beban APBD dan bisa saling menutupi baik untuk alokasi tahap pra bencana, tanggap darurat bencana dan pasca bencana.
"Masih teringat dalam ingatan kita kejadian bencana banjir bandang di Kabupaten Luwu Utara pada Juli 2020 lalu yang merusak kurang lebih 2.500 unit rumah, merusak fasilitas kesehatan, pendidikan dan peribadatan, belum lagi lahan pertanian dan perkebunan yang juga rusak terkena dampak banjir bandang," ucapnya.
Serta infrastruktur lainnya, seperti jalan, jembatan, bendung/irigasi, jaringan jalan, jaringan air bersih, usaha mikro, serta berbagai fasilitas publik lainnya juga terkena imbas dari bencana banjir bandang yang telah menelan puluhan korban jiwa ini agar menjadi pembelajaran dan perhatian serius bagi pemerintah daerah dan pusat untuk mendorong manajemen risiko bencana kerjasama antar daerah.
Maka dari itu, IAP Sulsel berhadap agar para calon kepala daerah utamanya di wilayah Luwu Raya yang akan berkontestasi di tahun politik ini, memiliki komitmen yang sama agar memasukan aspek tata ruang dan mitigasi bencana dalam penyusunan visi, misi dan program prioritasnya.
Sehingga prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dalam pembangunan suatu wilayah, penyusunan kebijakan, rencana dan program.
"Sebab, prinsip pembangunan berkelanjutan menjadi kunci untuk membangun masa depan yang baik, berkualitas, dan berkelanjutan," tandasnya. (*)
Editor : Arham Hamid
Artikel Terkait