Tuntut Ganti Rugi, Warga Gowa Geruduk Lokasi Proyek Bendungan jenelata

GOWA, iNewsCelebes.id - Ratusan warga menggelar aksi unjuk rasa di lokasi proyek pembangunan Bendungan Je’nelata, Dusun Mannyampa, Desa Tanakaraeng, Kecamatan Manuju, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Pada Rabu (01/10/2025)
Aksi kali ini melibatkan warga dari lima desa di dua kecamatan. Empat desa berasal dari Kecamatan Manuju, yakni Desa Bilalang, Desa Moncongloe, Desa Tanakaraeng, dan Desa Pattallassang. Sementara itu, satu desa lainnya berasal dari Kecamatan Bungaya, yaitu Desa Bissoloro.
Koordinator aksi dari aliansi Gerakan Rakyat Manuju-Bungaya, Hendra, mendesak agar BPN, Balai Pompengan, BBWS, PPK, serta seluruh lembaga terkait segera melakukan pembayaran pembebasan lahan milik warga yang masuk dalam area konstruksi.
“Tuntutan kami kepada semua pihak, baik BPN, Balai Pompengan, BBWS maupun PPK, adalah agar segera memenuhi kewajiban pembayaran pembebasan lahan masyarakat yang masuk area konstruksi Bendungan Je’nelata,” jelas Hendra, Kamis (2/10/2025).
Hendra juga meminta agar aktivitas pembangunan di lokasi dihentikan sementara hingga ganti rugi lahan warga diselesaikan.
“Karena belum ada kejelasan dan penjelasan soal pembayaran ganti rugi, maka masyarakat meminta pembangunan dihentikan sementara waktu,” tegasnya.
Ia juga menambahkan bahwa warga menuntut adanya laporan progres pembebasan lahan setiap bulan sebagai bentuk transparansi dan edukasi kepada masyarakat.
Selain itu, Hendra menekankan agar BPN segera mengumumkan daftar nominatif (Danom) 150 bidang tanah yang dijanjikan pada September lalu.
“Kami mendesak BPN untuk segera mengumumkan daftar nominatif 150 bidang tanah. Hingga memasuki bulan Oktober, belum ada kejelasan,” tutupnya.
Hal senada diungkapkan salah seorang warga, Sapiuddin Daeng Kila (50), warga Dusun Maccini Dalle, Desa Moncong Loe, Kecamatan Manuju. Ia mengaku resah lantaran lahan dan rumahnya yang berada tepat di depan tanggul bendungan belum mendapat kepastian pembayaran.
“Lahan saya sekitar satu hektare, termasuk rumah di depan tanggul. Pembayaran pernah dilakukan sekitar tahun 2021, tapi baru 10 persen yang dibayarkan. Padahal proyek ini ditargetkan rampung 2028,” ujar Sapiuddin.
Ia khawatir hingga bendungan selesai nanti, hanya 30–40 persen lahan yang dibayarkan. “Sementara kami sudah tenggelam di sini,” ungkapnya.
Sapiuddin juga mengingatkan agar ada transparansi pembayaran lahan setiap bulan. Ia bahkan menyinggung pengalamannya saat terdampak pembangunan Bendungan Bili-bili.
“Ibarat itik mandi di air, tapi mati kehausan. Orang lain menikmati hasilnya, sementara kami yang terdampak justru dirugikan,” tuturnya.
Editor : Muhammad Nur